✤ Rivalitas Inggris–Prancis
Pada dasarnya dalam Sejarah, Inggris-Prancis cukup sering bertikai satu sama lain. Tercatat bahwa kedua Negara ini telah terlibat persaingan hebat nan besar selama Lebih Dari 8 Abad lamanya.
Delapan Abad bukanlah waktu yang singkat. Maka tak heran mengapa Inggris-Prancis digambarkan sebagai Rival, atau 'Historic Rivals'.
Bermula dari Norman Conquest pada tahun 1066, yang mana ini merupakan konflik pertama antara Inggris dengan Prancis. Norman Conquest merupakan sebuah periode Penaklukan Pulau Britania oleh Orang-orang Normandy, yang notabene masih memiliki hubungan darah dengan Orang Prancis.
Norman Conquest berakhir dengan kemenangan dari Pihak Normandy, dimana monarki Inggris beralih kekuasaan ke tangan House of Normandy. William the Conqueror, adalah sosok penting Normandy yang sukses merebut kekuasaan monarki Inggris tersebut.
Berlanjut ke Persaingan Capetian–Plantagenet yang berlangsung selama se-abad lamanya, dari tahun 1159–1259. Dalam persaingan ini, keadaan berbanding terbalik antara Inggris dengan Prancis.
Jika dulunya Inggris yang diserang oleh daerah Prancis, maka kini Inggris lah yang menyerang Prancis. Inti dari persaingan ini adalah konflik perihal perebutan wilayah. Monarki Inggris yang sebelumnya telah dikuasai oleh Orang-orang Normandy, kini mendirikan Kekaisaran Angevin yang wilayahnya mencakup England dan Bagian Barat Prancis.
House of Capetian yang merupakan penguasa sah dari Prancis, berusaha sekuat tenaga untuk menekan pengaruh Kekaisaran Angevin, yang dikuasai House of Plantagenet. Perang se-abad inipun berakhir dengan kemenangan dari pihak Capetian, dimana House of Plantagenet dari Angevin (Inggris) setuju untuk mengakui kekuasaan Capetian atas wilayah Barat Prancis, yang terdiri dari : Anjou, poitou, Maine, dan Normandy.
Setelah persaingan berakhir pada 1259, bukan berarti Inggris dan Prancis tak berkonflik lagi. Kenyataannya selama akhir abad ke-13 hingga pada kisaran tahun 1320-an, Inggris dan Prancis memulai kembali pertikaiannya.
Perang lebih besar yang dikenal sebagai Perang Seratus Tahun Kedua, akhirnya pecah dari tahun 1337–1453. Perang ini adalah kelanjutan dari Persaingan Capetian-Plantagenet, dimana di perang ini House of Valois bertikai dengan dengan House of Plantagenet. House of Valois merupakan cabang kadet dari House of Capet yang notabene merupakan dinasti asli dari Prancis.
Inti dari konflik kali ini adalah perihal sengketa tahta mahkota Prancis, setelah kematian Raja Charles IV dari Prancis. Perang besar ini akhirnya merembet ke penjuru monarki Eropa Barat, yang diantaranya melibatkan : Burgundy, Portugal, Navarre, Britanny, Papal State, Genoa, Scotland, Castille, Welsh, Ghent, Aragon, Avignon, dab Bohemia.
Perang Seratus Tahun Kedua berakhir dengan kemenangan pihak Prancis, dimana House of Valois secara resmi dianggap sebagai pemegang kekuasaan sah dari Monarki Prancis. Sedangkan pihak Inggris harus rela kehilangan sebagian besar daerah Prancis yang berhasil mereka rebut, dimana satu-satunya dari Inggris yang masih bertahan adalah wilayah kecil dari Pale of Calais.
Setelah Prancis berhasil memenangkan Perang 100 Tahun Kedua, sempat terdapat jeda antara konflik Inggris–Prancis. Akan tetapi itu bertahan untuk 4 dekade saja, ketika pada tahun 1494–1495 pecahlah Perang Italia yang kembali membuat Inggris-Prancis bersaing kembali.
Dalam Perang itu, Prancis yang memberi dukungan dan Bantuan ke Kadipaten Milan, harus siap untuk berhadapan dengan Kerajaan Napoli yang didukung oleh Liga Venesia.
Walaupun Perang hanya berlangsung satu tahun saja, namun pada era tahun 1510-an hingga 1560, konflik antara Inggris-Prancis kembali berlanjut di Italia, yang merupakan kelanjutan dari perang pertama. Diantara Perang setengah abad tersebut, konflik yang terjadi adalah : Perang Liga Cambrai, Perang Italia Kedua, Perang Italia Ketiga, dan Perang Italia Keempat.
Perang Italia Keempat merupakan konflik terakhir dari konflik berkepanjangan Italia, yang diakhiri dengan Perjanjian Cateau-Cambresis, dimana beberapa hasil pentingnya adalah : Pertukaran teritorial terkait beberapa negara bagian Kekaisaran Romawi Suci, Habsburg Spanyol dibiarkan berdaulat atas beberapa Kerajaan di Italia, Pengabaian klaim Prancis atas Milan, Pengembalian Pulau Korsika ke Republik Genova, dan Pengakuan Prancis atas Mary I sebagai Ratu dah Inggris.
Di akhir Abad ke-17, tepatnya pada tahun 1689–1697, Inggris-Prancis berkonflik dalam Nine Years War. Perang ini merupakan sebuah konflik Global Besar yang kerap kali disebut sebagai Perang Aliansi.
Prancis dalam konflik ini harus melawan kelompok Aliansi Besar yang terdiri dari : Belanda, Inggris, Scotland, Kekaisaran Romawi Suci, Kadipaten Savoy, dan Kekaisaran Spanyol. Konflik Besar ini bermula dari tindakan Prancis yang dinilai agresif dalam berbagai agresi dan aneksasi nya, serta kekhawatiran kebijakan anti-protestan. Hal-hal tersebut pada akhirnya mendorong pembentukan Aliansi Besar yang diprakarsai oleh William of Orange.
Nine Years War berakhir dengan Perdamaian Rijswijk, yang mana Perjanjian ini ditujukan untuk segera mengakhiri konflik. Prancis bisa dibilang tak seberapa rugi dalam Perjanjian, karena mereka memperoleh daerah Acadia dan Pondhicery, walaupun harus mengembalikan beberapa daerah yang telah diinvasi. Perang ini jugalah yang pada akhirnya mengubah Monarki Inggris dari Absolute ke Konstitusional.
Di era Abad ke-18, Inggris-Prancis terlibat dalam Konflik Suksesi di Negeri-Negeri Habsburg. Dari 1702–1713, kedua negara saling berlawanan dalam Perang Suksesi Spanyol.
Prancis yang didukung oleh Spanyol Bourbon harus melawan Kekaisaran Romawi Suci yang didukung oleh Inggris-Belanda-Prussia, serta pihak Spanyol yang Pro Habsburg. Inti dari Konflik ini adalah perihal konflik penerus tahta Spanyol setelah kematian Raja Charles II dari Spanyol, yang tak memiliki seorang anak.
Perebutan kekuasaan pun terjadi, dimana Philip of Anjou mengklaim bahwa dirinya lah yang pantas menjadi penerus, karena Charles II merupakan salah satu paman nya. Akan tetapi Charles V dari Austria menentangnya, karena Philip berasal dari House of Bourbon, sedangkan dirinya berasal dari Dinasti Habsburg yang merupakan penguasa asli Spanyol. Perang Besar pun tak terelakkan, yang lagi membawa Inggris dan Prancis ke dalam konflik sengit, dimana sebagai Rival Prancis, Inggris pada akhirnya mendukung kelompok Habsburg Spanyol.
Perang Suksesi pada akhirnya mendorong beberapa konflik internal di beberapa negara yang terlibat, seperti Perang Kemerdekaan Rackozi di Hungaria dan Pemberontakan Camisards di Prancis. Konflik juga merembet ke Amerika Utara, dimana Perang Ratu Anne pecah antara Inggris dengan Prancis.
Perang ini pada akhirnya berakhir dengan Perjanjian Utrecht–Rastatt–Baden, yang mana Philip V akhirnya dijadikan sebagai penguasa sah Kekaisaran Spanyol, tetapi konsekuensinya adalah ia telah putus dari garis suksesi Kerajaan Prancis.
Kemudian pada tahun 1744–1748, Inggris–Prancis kembali berlawanan dalam Perang Suksesi Austria.
Pada masa pertengahan Abad Ke-18, kedua negara itu berkonflik dalam Seven Years War, yang merupakan konflik Global di Eropa-Amerika–Asia. Itu terjadi pada kisaran tahun 1756–1763. Konflik ini merupakan usaha untuk membangun kekuatan dan keunggulan global, antara Inggris dengan Prancis. Persaingan Kolonial dari Inggris dan Prancis di Amerika Utara serta Hindia Barat, juga terpengaruh secara besar akibat konflik ini.
Pada akhirnya, Seven Years War berakhir dengan kemenangan dari pihak Inggris. Prancis bisa dibilang mengalami kerugian dari Perang ini, dimana mereka harus mengembalikan daerah yang sebelumnya sempat mereka rebut dari Inggris, serta harus menyerahkan koloninya di Amerika Utara ke tangan Inggris.
Berakhirnya perang menandai Status Quo Ante Bellum di Eropa, atau situasi seperti yang ada sebelum perang. Berakhirnya perang juga membuat pembentukan beberapa perjanjian.
Konflik antar kedua Negara, mungkin baru terlihat mereda selama era Revolusi Prancis. Inggris memang berperang melawan Prancis, tapi itu pada Kaum Republikan dan Napoleon. Ketika Napoleon akhirnya kalah, hubungan Inggris-Prancis bisa dibilang mulai membaik. Restorasi Bourbon yang membawa Prancis ke masa Monarki Juli, bisa dibilang menjalani era-era tanpa persaingan dan permusuhan dengan Inggris.
Akan tetapi itu tak bertahan lama, dimana Prancis yang telah berubah bentuk menjadi Republik, kembali mengalami tensi panas di era pertengahan abad ke-19. Hal itu terjadi akibat persaingan Kolonialisasi di Afrika, antara Inggris-Prancis. Persaingan ini sebenarnya berlangsung secara tersirat, dimana persaingan nya lebih mengarah ke Kompetisi Perdagangan, dan Kompetisi Perluasan Koloni, yang mana keduanya cukup Progresif dalam memperluas koloni di Afrika.
Pada dasarnya, hubungan persahabatan Inggris-Prancis secara umum mulai tercipta di akhir Era Napoleonic. Hubungan persahabatan antara keduanya secara resmi terjalin dengan Entente Cordiale pada 1904.
Entente Cordiale merupakan serangkaian perjanjian yang ditujukan untuk mengakhiri permusuhan berabad-abad antara Inggris-Prancis. Entente Cordiale juga ditujukan serta didasari untuk mengamankan kedua negara dari pengaruh Jerman yang mulai menguat di Eropa.
Dan benar saja, ternyata Jerman justru ingin agar Inggris-Prancis terus bermusuhan, yang nantinya Jerman dapat bersekongkol dengan salah satu negara, untuk melawan yang lainnya. Untungnya Krisis Maroko Pertama pada tahun 1905 yang didalangi oleh Jerman justru membuat Entente Cordiale semakin menguat, dan itu semakin diperkuat setelah adanya Konferensi Algeciras 1906, serta Krisis Maroko Kedua yang kembali didalangi oleh Jerman.
Selama era dua Perang Dunia sendiri, Inggris-Prancis saling bersekutu. Mereka sama-sama tergabung sebagai Allied, yang saling membantu satu sama lain, dalam mengalahkan Jerman.
Dalam era Perang Dunia Pertama, Inggris berpengaruh besar dalam membantu Prancis di peperangan nya dengan Kekaisaran Jerman. Inggris senantiasa melobi pasukannya untuk membendung sekaligus mengusir pasukan Jerman, daru wilayah Timur Laut Prancis.
Hal itu juga dilakukan selama era Perang Dunia Kedua, dimana Inggris memiliki pengaruh vital dalam melindungi dan melobi Prancis, yang telah takluk oleh Jerman Nazi dan diubah menjadi Vichy France. Inggris berperan penting dalam melindungi beberapa pejuang Prancis, yang salah satunya adalah Charles de Gaulle. Kutipan Perdana Menteri Winston Churchill yakni "We Shall in the France" secara tak langsung memperlihatkan keseriusan Inggris untuk membantu Prancis dalam mengalahkan dan mengusir Pasukan Jerman Nazi.
Krisis Levant pada tahun 1945, mungkin adalah ketegangan panas terakhir antara Inggris-Prancis. Kala itu, Pasukan Prancis mencoba untuk memadamkan protes nasionalis di Syria atas pendudukan Prancis dan Pembentukan Mandat di Tanah Levant tersebut. Sayangnya, dalam memadamkan pemberontakan itu, Prancis justru memakai kekerasan hingga banyak korban berjatuhan di pihak Syria.
Winston Churchill menentang tindakan Prancis itu, dan mengirim pasukan Inggris ke Syria dari Transjordan. Churchill bahkan memerintahkan untuk menembak Pasukan Prancis, jika memang diperlukan.
Pada akhirnya, Krisis Levant diakhiri secara damai. Gencatan senjata dilakukan, dan Prancis menarik mundur seluruh pasukannya di Syria.
Kini, hubungan Inggris-Prancis bisa dibilang harmonis tapi naik-turun. Sebagai sesama negara Eropa Barat, Inggris-Prancis sangat erat dalam kerja sama. Sejak Brexit, tensi antar keduanya mulai tampak kembali, entah itu secara tersurat ataupun tersirat.
"If we, France and Britain, are unable to say whether we are friends or enemies - and the term is not neutral - then we are on the way to serious problems. If I were to be asked this question, I would not hesitate for a second - Britain is France's friend."
–Emmanuel Macron
-Historia Est Via Futuri-
.301122.
Komentar
Posting Komentar